Tuesday, June 5, 2012

Cerpen: Fikri, ya nama lelaki itu Fikri!




“ Terimakasih banyak, semoga barang ini bermanfaat dan berguna. Saya pergi dulu, mari..” Pamit seorang lelaki jangkung berpeci hitam, berwajah teduh, dengan mata sendu pergi meninggalkan Tifania sebelumnya berada tepat di hadapannya. Gadis remaja itu tersenyum senang. Ia memberinya sebuah sarung, yang baru kemarin di belinya. Hatinya menjadi berdetak tidak menentu saat lelaki itu pergi menjauh. Fikri namanya. Walau terlihat hanya baru beberapa langkah pergi, Tifania langsung rindu. Tubuhnya seakan ingin selalu berada di dekat lelaki tersebut, rasa nyaman memang selalu menyelubungi hatinya bila Fikri di sampingnya. Benar saja! Tanpa sadar kakinya mengikuti arah Fikri jalan.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…!” Seruan azan berkumandang dari masjid sekolah. Tifania terpaku, ia duduk di teras masjid. Suara Fikri! Tifania tersenyum lagi. Ia menikmati suara merdu itu sampai selesai.
“Laa ilahailaulaah….” Seruan azan terakhir. Para wanita maupun pria langsung mengambil air wudhu, sebagian dari mereka keheranan melihat Tifania tersenyum-senyum. Ups! Tifania langsung tersadar. Ia segera pergi menuju kelasnya, 9 – H.
“Apa yang kulakukan tadi? Bodoh!” Rutuk Tifania kepada dirinya sendiri.
Sadar – Tidak sadar, Tifania benar-benar menyukai Fikri. Walau diantara semua itu, ada sesuatu yang membatasi dan menganjalnya. Sesuatu yang sangat berat bagi Tifania sendiri. Agama. Ya, Tifania adalah gadis dari Agama Kristen, sedangkan Fikri lelaki Islam. Bagaimanapun mereka harus berpisah menganut Agamanya masing-masing. Tapi, bagaimana untuk Tifania yang baru pertama kalinya menyukai seorang pria? Apa kata “Berpisah” merupakan solusi sekaligus kata terakhirnya? Sekali-kali ia berfikir bagaimana cara menghilangkan Fikri dari ingatannya. Namun, hasilnya nihil. Semakin lama Tifania melupakannya, semakin besar rasa sukanya. Jika makin mencoba tuk di lupakan bisa-bisa rasa sukanya ini berubah menjadi rasa cinta yang ingin memiliki. Ah, Tidak boleh! Tifania teringat perbincangannya dengan Fikri. Saat itu Tifania mencoba mengungkapkan isi hatinya.
“Fikri, bolehkan aku tanya sesuatu?” Tanya Tifania seminggu yang lalu, di teras masjid SMP. Tempat yang paling disukai Fikri. Lelaki itu baru selesai shalat Dzhuhur.
“Ya, silahkan saja” Bibir Fikri tersenyum kecil. Deg! Meskipun kecil, tetap saja mampu membius hati Tifania, membuat dirinya seakan tak bisa berkata apapun, ia diam membisu. Menatap Fikri dengan kelembutan yang terpancar dari matanya sendiri. Fikri malu diperhatikan seperti itu, ia menunduk.
“Ya, silahkan. Apa yang ingin kau tanyakan?” Ulangnya. Tifania tersadar, ia geleng-geleng kepala.
“Huh, Hah, Apa? Ah. Maafkan aku. Aku terpesona oleh mu”  Ucap Tifania. “Eh, kelepasan! Jangan ke GR-an dulu ya!” Desah Tifania cepat. Fikri tersenyum lagi. Tifania menunduk, tak bisa menatapnya. Karena jika di perhatikan, ia bisa gila. Wajahnya memerah, ia menarik napasnya dalam-dalam sebelum bertanya. Inilah saatnya!
“Fik, kalau ada seorang wanita yang menyukaimu, apakah kau bersedia menjadi suaminya? Mendampingkan seorang istri? Menjadi pengantin… Maaf, jangan salah sangka dulu ya, aku gak suka kok sama kamu” Ucap Tifania bohong. Fikri terkejut. Menjadi SUAMI?
“Menjadi suami ya? Ya… kita kan masih kecil. Bagiku belum pantas untuk memikirkan hal itu, terlalu cepat. Kita sekarang akan menuju garis finish, hanya beberapa bulan sekolah di SMP ini, kita semua akan berpisah, mengapai mimpi masing-masing. Jadi, aku belum kepikiran untuk cepat-cepat menikah” Jawabnya. Pipi Tifania memerah, semerah apel yang matang. Kenapa bertanya seperti itu, Tifania?
“O.. gitu ya. Tapi, kalau ada seorang wanita yang menyukaimu, apakah kamu mau menjadi pacarnya? Maaf, jangan salah sangka lagi ya…” Tanyanya. Fikri mencari jawaban.
“Pacaran ya? Ya… saya akan menolaknya” jawabnya mantap. Tifania kaget. Menolaknya?
“Lho… kenapa?” Ia hampir putus harapan alias ‘gagal’. Fikri tersenyum.
“Dalam ajaran Agama Islam, manusia tak boleh mendekati zina. Apalagi pacaran. Hukumnya dosa! Kedua orangtua saya pun, melarang keras pacaran. Jadi, saya belum pernah pacaran. Lagipula saya tak mau. Takut dosa”
“Lalu, kenapa teman-teman sekelas kita berpacaran? Walaupun ada pula yang beragama Islam, bukannya dosa?”
“Itu, karena mereka tidak mengetahui larangan dan bahaya pacaran. Aku tak ingin menjadi orang yang fasik!”
“Tapi bila seseorang wanita itu sekedar menyukai? Kamu pernah mengalami rasa jatuh cinta bukan? Siapa wanita yang pernah kau sukai?” Tanya Tifania berusaha. Faktanya bahwa ‘seseorang wanita’ yang ia tanyakan, adalah dirinya.
“Maaf, sepertinya pertanyaanmu ini, membawa hati saya” Jawab Fikri malu.
“Oh, maaf ya… ya sudahlah, maaf mengganggu waktu mu” Lemas tubuhnnya, sedih rasanya. Tifania berbalik badan, akan pergi.
“Eh, Tifania! Baiklah… akan ku jawab semua pertanyaanmu itu” Kata Fikri mengalah. Tifania sumringah dan kembali semangat, ia berbalik badan lagi, duduk di samping Fikri dengan berjaga jarak. Ia sudah mengetahui, kalau ia duduk dekat-dekat dengan Fikri. Fikri pasti akan berdiri!
Fikri mengambil nafasnya dalam-dalam, ia harus membuka masa lalunya. Seperti yang ditanyakan Tifania.
Benar, bahwa Fikri pernah mengalami masa ‘Jatuh Cinta’ seperti yang selalu dialami para remaja kebanyakaan. Namun, ia tak menyalurkan rasa sukanya kepada seorang gadis yang ia sukai. Sangatlah berbeda tipe gadis itu dengan Tifania. Salwa nama wanita itu. Pintar orangnya, tidak sombong. Selalu diam, tak banyak bicara. Baginya salah satu motto hidupnya adalah ‘Dari pada berbicara kasar, keras, atau tak ada artinya. Lebih baik diam’. Selalu berjilbab, tak pernah sekalipun melepaskannya. Bajunya di sesuaikan dengan pandangan lelaki, agak longar dan panjang. Selalu menjaga pandangannya. Hafalan Al-Qur’annya pun lumayan. Banyak lelaki yang menyukai Salwa. Seperti dirinya, Salwa memang menyukai seorang lelaki, tapi ia tak menyalurkan perasaannya dengan mudah. Wanita ini tidak ingin menduakan cinta Allah. Pokoknya, Tifania hampir di buat salut oleh sifat Salwa yang memang benar-benar baik.
Dari semua itu, Tifania mendapatkan kesimpulan. Bahwa Fikri, menyukai wanita shalehah. Tapi, meskipun Fikri jatuh hati kepada Salwa. Tetap, ia tak akan menyatakan terang-terangan di depan Salwa sendiri. Fikri lebih senang menyimpannya di dalam hati, menjaganya, dan merahasiakannya. Baru Tifania tahu setelah Fikri menyatakan, bahwa rahasianya ini hanya Tifania yang mengetahui, dan baru di ketahui oleh Tifania seorang. Tifania sangat senang bisa mengetahui isi hati Fikri, tapi di sisi lain ia juga cemburu, kenapa Fikri menyukai wanita lain? Padahal, dia sendiri menyukai lelaki itu.
“Ooo…” Tifania mengangguk. Itulah sebabnya mengapa ia menyukai Fikri, karena dia sangat menghargai wanita dan taat beribadah, Tifania pun terkadang di buat kagum oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Meski begitu, Fikri tetap wanti-wanti agar kebersamaannya tidak menimbulkan fitnah, dari orang-orang yang berjalan di sekitarnya maupun hanya sekedar melihat saja.  Tifania mengerti, bahwa Fikri berniat baik terhadapnya. Walaupun kata ‘Saya akan menolaknya’ hampir membuatnya putus asa.
J J J
Rasa sukanya terhadap Fikri, kini sudah tak mampu di bendung lagi. Suatu kali, ia sedang memakan ice cream di taman belakang rumahnya sambil berdiri. Tiba-tiba kata-kata Fikri terngiang di kepalanya.
“Makan itu harus duduk, tak boleh berdiri. Dan jangan lupa untuk berdo’a dulu. Karena bisa meningkatkan rasa syukur kita”
Segera Tifania memperaktikannya. Ia duduk di sebuah kursi dan tak lupa berdo’a dahulu sebelum makan ice creamnya. Saat akan tidur pun, kembali ia teringat dengan kata-kata Fikri.
“Sebelum tidur, harus baca do’a dulu dan jangan lupa sikat gigi, biar gak di serang kuman”
Tifania tersenyum kecil, sambil berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi. Sampai-sampai pergi di hari libur pun, tak lupa Tifania membelikan sebuah barang atau perlengkapan alat shalat untuk Fikri. Semua serba lelaki jangkung itu, layaknya lagu Maia Estianti – Ingat Kamu.
Orangtua Tifania memang sudah mengetahui bahwa anak bungsunya menyukai seorang lelaki, yang bernama Fikri, dan beragama Islam. Namun, tak ada respon sedikitpun yang keluar dari mulut orangtuanya. Karena Tifania sendirilah yang mengatakan bahwa Fikri tak akan pernah mau pacaran. Karena itu orangtuanya sedikit lega, tetapi sesekali Tifania pun di peringatkan agar lebih berhati-hati. Orangtuanya mengetahui bahwa anaknya sedang jatuh cinta, dan itu sangat wajar.
Kakak laki-laki Tifania pun, Kak Edo namanya. Yang sedang kuliah, mewajarkan Tifania menyukai seorang pria. Tak lupa Kak Edo memberitahukan bahwa kebanyakan lelaki senang dengan kelemahan perempuan. Namun, Tifania menolak semua perkataan yang di katakan Kak Edo. Karena Fikri tak seperti itu.
“Kenapa cinta itu penuh misteri?” Tifania membaringkan tubuh di atas ranjangnya.  Sulit bagi Tifania pilihannya, sangatlah sulit. Ia terus berfikir, mencari konsentrasi yang kabur begitu saja tanpa berpamitan. Bagaimana rasa cinta itu hilang? Ia sangat tertekan dengan kata “saya akan menolaknya…” tapi senyumnya juga muncul saat kata “ Boleh-boleh saja atau fitrah..” mengiang dalam kepalanya. Bingung. Rasa itu langsung membuat dirinya mengantuk. Perlahan ia mulai memejamkan mata, dan lagi-lagi di dalam dunia mimpinya ada Fikri dan Tifania, berada di sebuah taman bunga yang indah dan… Hanya berdua!! 
                                                          JJJ
Lamunan Tifania sama sekali tidak buyar walaupun dalam keramaian kantin sekolah kali ini. Panas matahari belum bisa membuat otak Tifania encer, es teh pun sama sekali belum bisa membekukan pikirannya. Pasalnya Tifania masih memikirkan Fikri. Seminggu ini Tifania berusaha menghindar mata Fikri, apa lagi senyumannya. Mungkin saja dengan keajaiban Fikri langsung tak ada dalam fikirannya lagi. Tifania mengetahui, pasti Fikri binggung dengan tinggkahnya yang super aneh itu. Setiap kumpul Osis-Mpk SMP Tunas bangsa, Tifania selalu izin tidak hadir, bukan karena ia sakit, malas, atau bolos. Tapi, karena ia benar-benar berniat untuk menghilangkan Fikri dari kesehariannya. Tapi mengapa begitu berat?
“Dasar pemalu, pengecut!” Tak henti hentinya Tifania terus merutuki dirinya sendiri.
“Apa aku harus menabraki diri, lalu di bawa kerumah sakit. Dan dokter menyatakan bahwa aku hilang ingatan?! Aduh… aku tak berani melupakan orang-orang di sampingku… aku takut mati duluan sebelum nenekku. Lalu? Apa aku harus pindah sekolah? Dan Papa mengatakan bahwa aku tinggal di Singapura saja, seperti kak Edo? Tapi… tak mudah bagiku…. Jadi? Sudahlah… ku putuskan dengan cara yang lain saja!”
“Hai Tifania…” Sebuah suara yang tak asing lagi bagi telinga Tifania mengejutkannya, suara itu berasal dari hadapannya. Mata Tifania melihatnya. Fikri?! Waduh, gawat Tifania malu. Baru saja tadi memikirkannya, sekarang sudah berada di hadapannya! Pipi Tifania memanas, mulutnya bergemetar, apalagi hatinya sudah meledak.
“Oh… Ha, hai juga… eh ada kecoa tuh, bukan! Tikus. Aduh… salah lagi. Kebelet nih. Aku pergi dulu ya. Bye!” Dengan cepat Tifania ngacir pergi. Fikri keheranan melihat tingkahnya. Lagi-lagi Tifania merutuki dirinya.
“Bodoh!” sambil memukul kepalanya. Mengapa setiap ada Fikri, senang sekali Tifania merutuki dirinya?
“Ada apa dengan Tifania, ya?” Tanya Fikri dalam batin.
                                                          JJJ
Seandainya Tifania menjadi phobia lelaki, mungkin ia tak akan pernah mengenal rasa ‘Jatuh Cinta’. Seandainya Tifania tak pernah mengenal Fikri, mungkin hatinya tak akan semeriah kembang api, petasan, maupun gas meledak yang kini ia rasakan. Seandainya Tifania hilang ingatan, mungkin ia melupakan orang-orang yang selalu memberinya semangat. Termasuk Fikri. Itu benar-benar sulit.
Fikri adalah lelaki pertamanya yang ia sukai, tak ada yang lain. Walaupun banyak lelaki lain yang sering menyatakan suka kepadanya, baik alat telekomunikasi seperti Handphone, maupun jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tapi Tifania tak peduli. Di hatinya hanya ada Fikri, di bayang-bayangnya hanya ada Fikri, bahkan di aktivitas maupun otaknya hanya ada Fikri seorang. Mengingat lelaki itu, bibir Tifania selalu tersenyum. Apa ini yang dinamakan CINTA?
Tifania sadar, cinta yang ia rasakan merupakan cinta yang berlbihan. Meskipun lelaki itu tak memikirkan Tifania walau sejam, semenit, maupun sedetik. Tapi Tifania, baginya semenit, sejam, maupun sedetik adalah waktu yang sangat berharga karena bisa memikirkan lelaki itu.
Ah… apakah persoalan yang ia hadapi adalah: Peraturan Cinta?
Bahwa setiap lelaki Islam, menikah dengan wanita Islam. Setiap lelaki Christian, menikah dengan wanita Christian. Lelaki Budha, menikah dengan wanita Budha. Dan lelaki Hindu, menikah dengan wanita berAgama Hindu lagi. Apakah seperti itu? Tapi di luar sana banyak sekali yang menikah berbeda Agama. Aduh, kok jadi ngebahas pernikahan gini sih!
Bukankah Tifania telah mengetahui bahwa kriteria wanita yang di sukai Fikri? Kenapa ia terus memikirkannya?
Layaknya hitam dan putih menyatu. Lalu siapakah hitam dan putih itu? Hitam adalah Tifania dan Putih adalah Fikri.
                                                          JJJ
Di kamar yang bercat cream-coklat. Tifania terus berfikir. Logikanya bertarung dengan perasaan. Bayang-bayang Fikri yang berada di otaknya berpindah menjadi di sampingnya. Tifania yang sedang memeluk lututnya di kasur, kaget. Tangan Fikri yang lembut dan hangat menyentuh rambut Tifania yang panjang, di elusnya berkali-kali. Mata sendu Fikri terus menatap Tifania.
“Tuhan, apakah ini mimpi?” Tanya batin Tifania.
“Bukan…” Jawab Fikri, masih mengelus rambut Tifania. Tifania semakin kaget kenapa dia bisa mengatahui isi hatinya? Ia mencubit pipinya, memastikan bahwa ini adalah mimpi. Aww… sakit!!
“Lalu, siapa kamu?”
“Aku adalah imjinasi mu” Tangan Fikri tak mengelus lagi rambutnya, tapi menjatuhkannya ke tangan gadis itu. Lagi, Fikri mengelus-elusnya. Walau hanya imajinasi, yang dipikirkan Tifania saat ini adalah Fikri nyata. Itu membuat jantungnya hampir copot.
“Tuhan, ku tanya sekali lagi. Apakah aku sedang bermimpi?” Tanya batinnya lagi. Fikri imajinasi hanya tersenyum, itu membuat Tifania seakan sekarat.
“Jika kau ingin bertanya sesuatu kepadaku. Tanyakanlah…” Ucap Fikri imajinasi dengan lembut.
“Apa kau Fikri asli. Pintu kamarku dalam kondisi mengunci! Bagaimana kau bisa masuk malam-malam begini?”
“Sudah ku bilang, aku imajinasi mu, aku bisa berada di sini karena imajinasi mu” Jelasnya. Bibir Tifania membulat, bertanda mengerti.
“Silahkan, apa yang ingin kau tanyakan?” Ulangnya. Kesempatan!
“Aku… ingin kau melupakan ku, dan aku pun ingin bisa melupakan mu. Tapi, bagaimana caranya? Aku tahu itu sangat berat bagiku dan tak akan pernah bisa aku tuk melupakanmu. Karena, sejujurnya aku menyukaimu, aku mencintaimu, aku ingin kau menjadi miliku. Meskipun ku mengetahui bahwa kau akan menolak gadis yang memintamu berpacaran. Namun, di hatiku tetap hanya ada kamu. Hari-hariku dipenuhi beban karena selalu memikirkan mu, meskipun ku anggap waktu ku mengingatmu itu adalah waktu yang bergharga. Sungguh, aku merasa tersiksa bila seperti ini. Sifatmu yang menjaga dan kata-katamu yang halus, membuatku merasa nyaman bila di dekat mu. Tolong… jangan bersikap seperti itu kepadaku…” urai Tifania. Fikri tersenyum.
“Kenapa aku tak boleh bersikap seperti itu?” Tanyanya sedikit melemas. Tifania menitikan air mata, ia menangis. Air matanya semakin menderas karena ia bisu, tak bisa berkata apa-apa. Fikri imajinasi memegang tangan Tifania lembut.
“Katakanlah… mengapa aku tak boleh bersikap seperti itu?” Tanyanya lagi.
“Karena… karena…” Air mata Tifania membuat sebuah anak sungai. “Karena aku akan jatuh cinta kepada mu….!” Tifania benar-benar menangis. Fikri tersenyum.
“Sudahlah, jangan mengangis…” Kata Fikri perhatian.
“Fik, berilah aku kunci. Kunci untuk melupakan mu, tolong lah…” Ucap Tifania di sertai isak tangis.
“Baiklah… dengan cara apa kamu ingin melupakanku?”
“Hal apa yang kamu tidak suka dari seorang gadis?”
“Aku tidak menyukai gadis yang selalu bermain malam, hanya sekedar untuk menongkrong dengan teman-temannya, di manapun tempatnya.”
“Adakah cara lain lagi yang kau tak sukai?”
“Um… banyak, namun hal yang ku tak sukai berpusat pada bermain malam”
“Baiklah…”
Paginya. Tifania terbangun karena sinar mentari yang hangat dari jendela, menimpa wajahnya. Sebuah selimut menutupi sebagian tubuhnya. Gadis yang masih memakai pakaian tidur sambil memeluk boneka beruang putih kesukaannya ini, tersadar. Ia langsung mencari Fikri imajinasinya.  Namun, tak tertemukan sama sekali. Di mana dia? Atau itu semua hanya tipuan imajinasi belaka?
                                                          J J J
Tifania jalan tergesa-gesa, mencari seorang teman yang bernama Mirna di bel istirahat pertama siang ini. Seperti dengan niatnya, ia berhenti di depan kelas 9-C, tempat Mirna belajar. Setelah menemukan orangnya bergegas Tifania meminta bantuan kepadanya.
“Yah… bantuan apa? Belajar? Sorry ya. Gue gak bisa!” Tolaknya mentah.
“Ye… bukan itu yang gue maksud!” Cegah Tifania.
“Terus apa? Gue gak bisa nih, pulang sekolah gue langsung jalan-jalan… biasa with my gank!” Kata Mirna sambil meneguk es kelapa yang berada di tangannya.
“Kemana? Gue pingin ikut dong…” Tifania memohon. Uhuukk… Mirna tersedak. Tifania memukul pundaknya. Mirna batuk-batuk. Ikut? Ingatan masalalunya membayang-bayang, pernah suatu kali Mirna memaksa Tifania ikut jalan-jalan dengan teman sebayanya. Faktanya, hanyalah Tifania seorang yang bergaul dengan Agama Islam, sampai-sampai setiap adzan berkumandang Tifania dengan gesit duduk di teras Masjid sekolah. Namun, Tifania menolaknya. Tifania ingin mencoba bergaul bercampur baur dengan siapapun. Entah itu orang kulit putih-hitam, mata sipit-bulat, hidung mancung-pesek, ataupun yang lainnya lagi. Mirna yang kelelahan setiap kali mencari-cari Tifania untuk bergaul dengan sesamanya, akhirnya menyerah. Dan Ia tak akan pernah mengejar Tifania lagi, tapi kali ini berbeda, Tifania mau mendekatinya? Dengan cekatan, punggung tangan Mirna meraih keningnya. Memastikan bahwa Tifania sedang sakit.
“Kenapa pegang kening gue segala?”
“Hei, lo sakit ya? Kenapa lo tingkahnya aneh? Gak kaya biasa!”
Tifania melepaskan tangannya. “Pasti tangan lo pegel tuh” bibir kecl Tifania tersenyum. Kembali, ia menarik napasnya dalam-dalam.
“Gue, pingin berubah. Bantuin gue ya. Emang benar, tingkah gue seiminggu ini aneh total. Tapi, itu lah masa gue yang ternyata hati melawan dangan pikiran. Hufh… membingunggkan” Keluhnya. Mata Mirna menyipit sebelah.
“Tif, gue tanya satu kali lagi. Lo sakit?” Mirna sedari tadi masih keheranan.
“Enggak, Mirna Jessica… gue gak sakit kok, pokoknya gue pingin ikut bareng lo, pulang sekolah nanti. Oke?” Tawar Tifania. Mirna mengganguk, setuju. Maafkan aku Fikri…!
                                                          J J J
Selama mengetahui pergaulan yang di lakukan Mirna dan kawan-kawan. Tifania sadar, bila ia masuk Agama Islam pergaulannya ini pasti dinilai sangat-sangat penyimpang! Buktinya, Mirna yang bila bertemu pacarnya akan berpegangan tangan seperti Dora dan Boest, berpelukan layaknya Teletubies, dan akan memberikan kecupan mesra di masing-masing pipinya. Hiyy… awalnya Tifania merasa ketakutan setiap berkumpul dengan orang-orang yang kalau Fikri bilang “orang-orang dzalim”. Mirna pun menyuruh Tifania mempunyai pacar, perasaan ragu datang begitu saja. Apa dia takut dosa? Seperti yang di katakan Fikri beberapa waktu lalu. Hufh, akhirnya Tifania memilih seorang lelaki di antara mereka untuk menjadi pacarnya, Tio nama laki-laki tersebut. Mual… ingin muntah! Tapi Tifania tak bisa kabur, ia harus bercampur baur dengan sesamanya. Bagaimana pun, walau hatinya memberontak ingin pergi, tubuhnya akan  menikmati setiap alunan musik yang di putar dalam disko. Kehidupannya kini berubah menjadi Dugem “Dunia Gemerlap”, dari namanya saja sudah gelap. Apalagi cahaya yang ada dalam ruangan disko, benar-benar kekuatannya 5 watt sampai 10 watt.!
Ternyata, kabar berita Tifania yang beruah sikap dengan pesat. Sudah terdengar sampai telinga Fikri. Ya Allah, apa yang akan di lakukannya? Mendzalimi tubuh, berbuat kemaksiatan… Astaghfirullah… Air mata Fikri membasahi sajadah yang dikenakannya, di sepertiga malam ini ia terus berdo’a. Sedangkan Tifania sendiri baru pulang dari ‘kehidupan barunya’. Orang tua Tifania tak melarang sama sekali dengan sikapnya yang memang selalu berubah.
                                                          J J J
“Tifania… aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Pulang sekolah di bawah pohon beringin, bisa?” Tanya Fikri seminggu sudah melihat aksi Tifania yang selalu bergandengan tangan dengan pacar barunya. Tifania tersenyum sinis.
“Mau tanya apa lo? Sekarang juga bisa kan?” Katanya tak acuh. Fikri kaget, ia istighfar. Bukan maksudnya untuk membuat sakit hati lelaki tersebut. Hati Tifania sudah menjadi hancur berkeping-keping saat berkata seperti itu.
“Ini kantin… aku takut suaraku terdengar tak begitu jelas…” Ucap Fikri khawatir.
“Resiko!” Jawabnya benar-benar seperti orang tidak peduli. ‘Ya sudah lah, bila kau ingin seperti ini’ batin Fikri sakit. Lelaki itu duduk di depan Tifania, saling berhadapan. Hal yang tak pernah dilakukan Fikri selama ia tahu. Deg! Kenapa hatinya berdetak seperti ini lagi?
“Tifania, maafkan aku bila aku mempunyai kesalahan. Maafkan aku bila selalu membuat hatimu terluka. Maafkan aku bila aku berkata yang kau tak sukai. Maafkan aku bila perilaku ku membuatmu merasa tak nyaman. Karena, aku tak pernah berniat seperti itu…”
Tifania kaku, bagaimana ini?
 “Lalu? Cepat! Aku buru-buru. Sudah ini aku akan menemui pacar ku…”
“Baiklah. Tif, sekali lagi maafkan aku… apa kesalahanku yang membuatmu menjadi berubah sikap begini?”
“Itu bukan urusan mu. Bukankah kau pernah mengatakan. Uruslah dirimu sendiri, baru mengurus orang lain!”
“Maaf…”
“Sungguh indah kata maaf itu, sangat lah mudah… tapi bagiku, sangat menyakitkan!!” Teriak Tifania pergi menjauhi Fikri, ia tak ingin melihatnya lagi. Tak ingin! Air matanya mengalir deras. Ia masuk toilet perempuan. Mencuci mukanya berkali-kali, menatap dirinya ke cermin sesekali.
“Kau jahat Fikri. Kau Jahat!!!” Teriaknya. Lemas tubuhnya, ia terus menangis. Tubuhnya jatuh. Ia pingsan.
                                                          J J J
Sungguh, bila aku boleh jujur. Setiap ku melihatmu aku merasakan getaran dada yang sangat hebat, hatiku merasakan goncangan yang sangat tidak menentu. Itu semua merupakan permasalahan batin yang ku alami setiap berjumpa denganmu, melihatmu walau hanya sesekali atau dengan jarak jauh. Tubuhku ini seakan ingin melindungimu, menjagamu. Tapi, aku tak bisa. Karena… aku tak ingin kau tahu, bahwa aku menyukaimu…
Tifania menutup buku hariannya yang selama ini ia pegang di rumah sakit. Ya, sudah seminggu ini ia tak menemui Fikri lagi, ia harus menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit swasta. Di sini, di dalam sebuah ruangan yang tak terlalu luas dengan penghuni hanya Tifania dan seorang pembantu karena orangtuanya sibuk membeli buah-buahan untuk dirinya, menginggatkan Tifania pada kejadian sebelumnya. Sadar tak sadar yang membawa ia masuk ke ruangan bau obat-obatan ini adalah emosinya sendiri. Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Ia tak peduli segala resiko yang akan ia hadapi akibat perbuataannya nanti. Namun, tubuhnya melemas lagi. Ia pingsan karena dehidrasi berkepanjangan.
Tok…tok…tok…
Ketukan pintu membuat Tifania terkejut. Tak tahu mengapa, hatinya merasakan getaran yang teramat kuat. Tifania penasaran dengan seseorang yang mengetuk pintu itu. Di bukakannya pintu itu oleh Bi Minah, sang pembantu yang juga menolong Tifania di larikan ke rumah sakit.
“Assalamu’alaikum…” Sebuah suara yang tak asing lagi bagi telinga Tifania terdengar sangat merdu. Siapa lagi kalau bukan Fikri!
“Wa’alaikumsalam…” Tanpa di sadari apapun Tifania menjawab salam Fikri.
Fikri masuk kedalam ruangan itu, dengan pakaian yang amat-sangat sederhana dengan sebuah keranjang yang berisi buah-buahan yang di pegangnya. Tifania menangkap kedua bola mata Fikri. Rasa rindu seminggunya yang selama ini di pendam berhamburan semua, ia malu, benar-benar malu. Bi Minah mengambil keranjang yang di pegang Fikri, dengan senang hati Fikri melepaskannya. Fikri tersenyum kepada Tifania, sontak gadis itu menjadi bisu, buru-buru ia memalingkan mukanya.
“Mau apa kau kemari?” Tanya Tifania sinis. Fikri melebarkan senyumnya.
 “Tidak ada apa-apa. Hanya sebentar aku di sini. Aku hanya ingin menjenguk mu, melihat kondisi mu. Apakah makin sehat?”
“Apa pedulinya kau terhadapku?” Tanya Tifania makin sinis. Saatnya bagi Fikri untuk jujur.
“Aku hanya ingin menjenguk orang yang sakit. Tidak peduli ia kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, atau muda. Yang ku pedulikan adalah kesehatan mereka semua. Tifania, aku mohon, aku meminta kepadamu biarkan sekarang aku berkata sejujur-jujurnya.” Pinta Fikri.
Deg! Apa yang ingin kau kata kan Fikri?
“Aku pamit. Dua hari lagi aku akan pergi ke Bandung, aku tak akan berada di kabupaten Cianjur lagi. Di sana aku akan mengejar cita-cita ku, meraih kesuksesan. Ini adalah akhir pertemuan kita. Cepat sembuh ya…” Fikri pergi. Tifania merasakan kesepian yang amat mendalam.

Selamat Tinggal Fikri… !   


End

Thanks for read and don't forget, please leave comment about this short story
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

6 comments: