“ Terimakasih banyak, semoga barang ini
bermanfaat dan berguna. Saya pergi dulu, mari..” Pamit seorang lelaki jangkung
berpeci hitam, berwajah teduh, dengan mata sendu pergi meninggalkan Tifania
sebelumnya berada tepat di hadapannya. Gadis remaja itu tersenyum senang. Ia
memberinya sebuah sarung, yang baru kemarin di belinya. Hatinya menjadi
berdetak tidak menentu saat lelaki itu pergi menjauh. Fikri namanya. Walau
terlihat hanya baru beberapa langkah pergi, Tifania langsung rindu. Tubuhnya
seakan ingin selalu berada di dekat lelaki tersebut, rasa nyaman memang selalu
menyelubungi hatinya bila Fikri di sampingnya. Benar saja! Tanpa sadar kakinya
mengikuti arah Fikri jalan.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…!” Seruan
azan berkumandang dari masjid sekolah. Tifania terpaku, ia duduk di teras
masjid. Suara Fikri! Tifania tersenyum lagi. Ia menikmati suara merdu itu
sampai selesai.
“Laa ilahailaulaah….” Seruan azan
terakhir. Para wanita maupun pria langsung mengambil air wudhu, sebagian dari
mereka keheranan melihat Tifania tersenyum-senyum. Ups! Tifania langsung
tersadar. Ia segera pergi menuju kelasnya, 9 – H.
“Apa yang kulakukan tadi? Bodoh!” Rutuk
Tifania kepada dirinya sendiri.
Sadar – Tidak sadar, Tifania
benar-benar menyukai Fikri. Walau diantara semua itu, ada sesuatu yang
membatasi dan menganjalnya. Sesuatu yang sangat berat bagi Tifania sendiri. Agama.
Ya, Tifania adalah gadis dari Agama Kristen, sedangkan Fikri lelaki Islam.
Bagaimanapun mereka harus berpisah menganut Agamanya masing-masing. Tapi,
bagaimana untuk Tifania yang baru pertama kalinya menyukai seorang pria? Apa
kata “Berpisah” merupakan solusi sekaligus kata terakhirnya? Sekali-kali ia
berfikir bagaimana cara menghilangkan Fikri dari ingatannya. Namun, hasilnya
nihil. Semakin lama Tifania melupakannya, semakin besar rasa sukanya. Jika
makin mencoba tuk di lupakan bisa-bisa rasa sukanya ini berubah menjadi rasa
cinta yang ingin memiliki. Ah, Tidak boleh! Tifania teringat perbincangannya
dengan Fikri. Saat itu Tifania mencoba mengungkapkan isi hatinya.
“Fikri, bolehkan aku tanya sesuatu?”
Tanya Tifania seminggu yang lalu, di teras masjid SMP. Tempat yang paling
disukai Fikri. Lelaki itu baru selesai shalat Dzhuhur.
“Ya, silahkan saja” Bibir Fikri
tersenyum kecil. Deg! Meskipun kecil, tetap saja mampu membius hati Tifania,
membuat dirinya seakan tak bisa berkata apapun, ia diam membisu. Menatap Fikri
dengan kelembutan yang terpancar dari matanya sendiri. Fikri malu diperhatikan
seperti itu, ia menunduk.
“Ya, silahkan. Apa yang ingin kau
tanyakan?” Ulangnya. Tifania tersadar, ia geleng-geleng kepala.
“Huh, Hah, Apa? Ah. Maafkan aku. Aku
terpesona oleh mu” Ucap Tifania. “Eh,
kelepasan! Jangan ke GR-an dulu ya!” Desah Tifania cepat. Fikri tersenyum lagi.
Tifania menunduk, tak bisa menatapnya. Karena jika di perhatikan, ia bisa gila.
Wajahnya memerah, ia menarik napasnya dalam-dalam sebelum bertanya. Inilah
saatnya!
“Fik, kalau ada seorang wanita yang menyukaimu,
apakah kau bersedia menjadi suaminya? Mendampingkan seorang istri? Menjadi
pengantin… Maaf, jangan salah sangka dulu ya, aku gak suka kok sama kamu” Ucap
Tifania bohong. Fikri terkejut. Menjadi SUAMI?
“Menjadi suami ya? Ya… kita kan masih
kecil. Bagiku belum pantas untuk memikirkan hal itu, terlalu cepat. Kita
sekarang akan menuju garis finish, hanya beberapa bulan sekolah di SMP ini,
kita semua akan berpisah, mengapai mimpi masing-masing. Jadi, aku belum
kepikiran untuk cepat-cepat menikah” Jawabnya. Pipi Tifania memerah, semerah
apel yang matang. Kenapa bertanya seperti
itu, Tifania?
“O.. gitu ya. Tapi, kalau ada seorang
wanita yang menyukaimu, apakah kamu mau menjadi pacarnya? Maaf, jangan salah
sangka lagi ya…” Tanyanya. Fikri mencari jawaban.
“Pacaran ya? Ya… saya akan menolaknya”
jawabnya mantap. Tifania kaget. Menolaknya?
“Lho… kenapa?” Ia hampir putus harapan
alias ‘gagal’. Fikri tersenyum.
“Dalam ajaran Agama Islam, manusia tak
boleh mendekati zina. Apalagi pacaran. Hukumnya dosa! Kedua orangtua saya pun,
melarang keras pacaran. Jadi, saya belum pernah pacaran. Lagipula saya tak mau.
Takut dosa”
“Lalu, kenapa teman-teman sekelas kita
berpacaran? Walaupun ada pula yang beragama Islam, bukannya dosa?”
“Itu, karena mereka tidak mengetahui
larangan dan bahaya pacaran. Aku tak ingin menjadi orang yang fasik!”
“Tapi bila seseorang wanita itu sekedar
menyukai? Kamu pernah mengalami rasa jatuh cinta bukan? Siapa wanita yang
pernah kau sukai?” Tanya Tifania berusaha. Faktanya bahwa ‘seseorang wanita’
yang ia tanyakan, adalah dirinya.
“Maaf, sepertinya pertanyaanmu ini, membawa
hati saya” Jawab Fikri malu.
“Oh, maaf ya… ya sudahlah, maaf
mengganggu waktu mu” Lemas tubuhnnya, sedih rasanya. Tifania berbalik badan,
akan pergi.
“Eh, Tifania! Baiklah… akan ku jawab
semua pertanyaanmu itu” Kata Fikri mengalah. Tifania sumringah dan kembali
semangat, ia berbalik badan lagi, duduk di samping Fikri dengan berjaga jarak.
Ia sudah mengetahui, kalau ia duduk dekat-dekat dengan Fikri. Fikri pasti akan
berdiri!
Fikri mengambil nafasnya dalam-dalam,
ia harus membuka masa lalunya. Seperti yang ditanyakan Tifania.
Benar, bahwa Fikri pernah mengalami
masa ‘Jatuh Cinta’ seperti yang selalu dialami para remaja kebanyakaan. Namun,
ia tak menyalurkan rasa sukanya kepada seorang gadis yang ia sukai. Sangatlah
berbeda tipe gadis itu dengan Tifania. Salwa nama wanita itu. Pintar orangnya,
tidak sombong. Selalu diam, tak banyak bicara. Baginya salah satu motto
hidupnya adalah ‘Dari pada berbicara kasar, keras, atau tak ada artinya. Lebih
baik diam’. Selalu berjilbab, tak pernah sekalipun melepaskannya. Bajunya di
sesuaikan dengan pandangan lelaki, agak longar dan panjang. Selalu menjaga
pandangannya. Hafalan Al-Qur’annya pun lumayan. Banyak lelaki yang menyukai
Salwa. Seperti dirinya, Salwa memang menyukai seorang lelaki, tapi ia tak
menyalurkan perasaannya dengan mudah. Wanita ini tidak ingin menduakan cinta
Allah. Pokoknya, Tifania hampir di buat salut oleh sifat Salwa yang memang
benar-benar baik.
Dari semua itu, Tifania mendapatkan
kesimpulan. Bahwa Fikri, menyukai wanita shalehah. Tapi, meskipun Fikri jatuh
hati kepada Salwa. Tetap, ia tak akan menyatakan terang-terangan di depan Salwa
sendiri. Fikri lebih senang menyimpannya di dalam hati, menjaganya, dan
merahasiakannya. Baru Tifania tahu setelah Fikri menyatakan, bahwa rahasianya
ini hanya Tifania yang mengetahui, dan baru di ketahui oleh Tifania seorang.
Tifania sangat senang bisa mengetahui isi hati Fikri, tapi di sisi lain ia juga
cemburu, kenapa Fikri menyukai wanita lain? Padahal, dia sendiri menyukai
lelaki itu.
“Ooo…” Tifania mengangguk. Itulah
sebabnya mengapa ia menyukai Fikri, karena dia sangat menghargai wanita dan taat
beribadah, Tifania pun terkadang di buat kagum oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Meski
begitu, Fikri tetap wanti-wanti agar kebersamaannya tidak menimbulkan fitnah,
dari orang-orang yang berjalan di sekitarnya maupun hanya sekedar melihat saja. Tifania mengerti, bahwa Fikri berniat baik
terhadapnya. Walaupun kata ‘Saya akan menolaknya’ hampir membuatnya putus asa.
J J
J
Rasa sukanya terhadap Fikri, kini sudah
tak mampu di bendung lagi. Suatu kali, ia sedang memakan ice cream di taman
belakang rumahnya sambil berdiri. Tiba-tiba kata-kata Fikri terngiang di
kepalanya.
“Makan itu harus duduk, tak boleh
berdiri. Dan jangan lupa untuk berdo’a dulu. Karena bisa meningkatkan rasa
syukur kita”
Segera Tifania memperaktikannya. Ia
duduk di sebuah kursi dan tak lupa berdo’a dahulu sebelum makan ice creamnya.
Saat akan tidur pun, kembali ia teringat dengan kata-kata Fikri.
“Sebelum tidur, harus baca do’a dulu
dan jangan lupa sikat gigi, biar gak di serang kuman”
Tifania tersenyum kecil, sambil
berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi. Sampai-sampai pergi di hari libur
pun, tak lupa Tifania membelikan sebuah barang atau perlengkapan alat shalat
untuk Fikri. Semua serba lelaki jangkung itu, layaknya lagu Maia Estianti –
Ingat Kamu.
Orangtua Tifania memang sudah
mengetahui bahwa anak bungsunya menyukai seorang lelaki, yang bernama Fikri,
dan beragama Islam. Namun, tak ada respon sedikitpun yang keluar dari mulut
orangtuanya. Karena Tifania sendirilah yang mengatakan bahwa Fikri tak akan
pernah mau pacaran. Karena itu orangtuanya sedikit lega, tetapi sesekali
Tifania pun di peringatkan agar lebih berhati-hati. Orangtuanya mengetahui
bahwa anaknya sedang jatuh cinta, dan itu sangat wajar.
Kakak laki-laki Tifania pun, Kak Edo
namanya. Yang sedang kuliah, mewajarkan Tifania menyukai seorang pria. Tak lupa
Kak Edo memberitahukan bahwa kebanyakan lelaki senang dengan kelemahan
perempuan. Namun, Tifania menolak semua perkataan yang di katakan Kak Edo.
Karena Fikri tak seperti itu.
“Kenapa cinta itu penuh misteri?”
Tifania membaringkan tubuh di atas ranjangnya. Sulit bagi Tifania pilihannya, sangatlah
sulit. Ia terus berfikir, mencari konsentrasi yang kabur begitu saja tanpa
berpamitan. Bagaimana rasa cinta itu hilang? Ia sangat tertekan dengan kata
“saya akan menolaknya…” tapi senyumnya juga muncul saat kata “ Boleh-boleh saja
atau fitrah..” mengiang dalam kepalanya. Bingung. Rasa itu langsung membuat
dirinya mengantuk. Perlahan ia mulai memejamkan mata, dan lagi-lagi di dalam
dunia mimpinya ada Fikri dan Tifania, berada di sebuah taman bunga yang indah
dan… Hanya berdua!!
JJJ
Lamunan Tifania sama sekali tidak buyar
walaupun dalam keramaian kantin sekolah kali ini. Panas matahari belum bisa
membuat otak Tifania encer, es teh pun sama sekali belum bisa membekukan
pikirannya. Pasalnya Tifania masih memikirkan Fikri. Seminggu ini Tifania
berusaha menghindar mata Fikri, apa lagi senyumannya. Mungkin saja dengan
keajaiban Fikri langsung tak ada dalam fikirannya lagi. Tifania mengetahui,
pasti Fikri binggung dengan tinggkahnya yang super aneh itu. Setiap kumpul
Osis-Mpk SMP Tunas bangsa, Tifania selalu izin tidak hadir, bukan karena ia
sakit, malas, atau bolos. Tapi, karena ia benar-benar berniat untuk
menghilangkan Fikri dari kesehariannya. Tapi mengapa begitu berat?
“Dasar pemalu, pengecut!” Tak henti
hentinya Tifania terus merutuki dirinya sendiri.
“Apa aku harus menabraki diri, lalu di
bawa kerumah sakit. Dan dokter menyatakan bahwa aku hilang ingatan?! Aduh… aku
tak berani melupakan orang-orang di sampingku… aku takut mati duluan sebelum
nenekku. Lalu? Apa aku harus pindah sekolah? Dan Papa mengatakan bahwa aku
tinggal di Singapura saja, seperti kak Edo? Tapi… tak mudah bagiku…. Jadi?
Sudahlah… ku putuskan dengan cara yang lain saja!”
“Hai Tifania…” Sebuah suara yang tak asing
lagi bagi telinga Tifania mengejutkannya, suara itu berasal dari hadapannya.
Mata Tifania melihatnya. Fikri?! Waduh, gawat Tifania malu. Baru saja tadi
memikirkannya, sekarang sudah berada di hadapannya! Pipi Tifania memanas,
mulutnya bergemetar, apalagi hatinya sudah meledak.
“Oh… Ha, hai juga… eh ada kecoa tuh,
bukan! Tikus. Aduh… salah lagi. Kebelet nih. Aku pergi dulu ya. Bye!” Dengan
cepat Tifania ngacir pergi. Fikri keheranan melihat tingkahnya. Lagi-lagi
Tifania merutuki dirinya.
“Bodoh!” sambil memukul kepalanya.
Mengapa setiap ada Fikri, senang sekali Tifania merutuki dirinya?
“Ada apa dengan Tifania, ya?” Tanya
Fikri dalam batin.
JJJ
Seandainya Tifania menjadi phobia
lelaki, mungkin ia tak akan pernah mengenal rasa ‘Jatuh Cinta’. Seandainya
Tifania tak pernah mengenal Fikri, mungkin hatinya tak akan semeriah kembang
api, petasan, maupun gas meledak yang kini ia rasakan. Seandainya Tifania
hilang ingatan, mungkin ia melupakan orang-orang yang selalu memberinya
semangat. Termasuk Fikri. Itu benar-benar sulit.
Fikri adalah lelaki pertamanya yang ia
sukai, tak ada yang lain. Walaupun banyak lelaki lain yang sering menyatakan
suka kepadanya, baik alat telekomunikasi seperti Handphone, maupun jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tapi
Tifania tak peduli. Di hatinya hanya ada Fikri, di bayang-bayangnya hanya ada
Fikri, bahkan di aktivitas maupun otaknya hanya ada Fikri seorang. Mengingat
lelaki itu, bibir Tifania selalu tersenyum. Apa ini yang dinamakan CINTA?
Tifania sadar, cinta yang ia rasakan
merupakan cinta yang berlbihan. Meskipun lelaki itu tak memikirkan Tifania
walau sejam, semenit, maupun sedetik. Tapi Tifania, baginya semenit, sejam,
maupun sedetik adalah waktu yang sangat berharga karena bisa memikirkan lelaki
itu.
Ah… apakah persoalan yang ia hadapi
adalah: Peraturan Cinta?
Bahwa setiap lelaki Islam, menikah
dengan wanita Islam. Setiap lelaki Christian, menikah dengan wanita Christian.
Lelaki Budha, menikah dengan wanita Budha. Dan lelaki Hindu, menikah dengan
wanita berAgama Hindu lagi. Apakah seperti itu? Tapi di luar sana banyak sekali
yang menikah berbeda Agama. Aduh, kok jadi ngebahas pernikahan gini sih!
Bukankah Tifania telah mengetahui bahwa
kriteria wanita yang di sukai Fikri? Kenapa ia terus memikirkannya?
Layaknya hitam dan putih menyatu. Lalu
siapakah hitam dan putih itu? Hitam adalah Tifania dan Putih adalah Fikri.
JJJ
Di kamar yang bercat cream-coklat.
Tifania terus berfikir. Logikanya bertarung dengan perasaan. Bayang-bayang
Fikri yang berada di otaknya berpindah menjadi di sampingnya. Tifania yang
sedang memeluk lututnya di kasur, kaget. Tangan Fikri yang lembut dan hangat
menyentuh rambut Tifania yang panjang, di elusnya berkali-kali. Mata sendu Fikri
terus menatap Tifania.
“Tuhan, apakah ini mimpi?” Tanya batin
Tifania.
“Bukan…” Jawab Fikri, masih mengelus
rambut Tifania. Tifania semakin kaget kenapa dia bisa mengatahui isi hatinya? Ia
mencubit pipinya, memastikan bahwa ini adalah mimpi. Aww… sakit!!
“Lalu, siapa kamu?”
“Aku adalah imjinasi mu” Tangan Fikri tak
mengelus lagi rambutnya, tapi menjatuhkannya ke tangan gadis itu. Lagi, Fikri
mengelus-elusnya. Walau hanya imajinasi, yang dipikirkan Tifania saat ini
adalah Fikri nyata. Itu membuat jantungnya hampir copot.
“Tuhan, ku tanya sekali lagi. Apakah
aku sedang bermimpi?” Tanya batinnya lagi. Fikri imajinasi hanya tersenyum, itu
membuat Tifania seakan sekarat.
“Jika kau ingin bertanya sesuatu
kepadaku. Tanyakanlah…” Ucap Fikri imajinasi dengan lembut.
“Apa kau Fikri asli. Pintu kamarku
dalam kondisi mengunci! Bagaimana kau bisa masuk malam-malam begini?”
“Sudah ku bilang, aku imajinasi mu, aku
bisa berada di sini karena imajinasi mu” Jelasnya. Bibir Tifania membulat,
bertanda mengerti.
“Silahkan, apa yang ingin kau
tanyakan?” Ulangnya. Kesempatan!
“Aku… ingin kau melupakan ku, dan aku
pun ingin bisa melupakan mu. Tapi, bagaimana caranya? Aku tahu itu sangat berat
bagiku dan tak akan pernah bisa aku tuk melupakanmu. Karena, sejujurnya aku
menyukaimu, aku mencintaimu, aku ingin kau menjadi miliku. Meskipun ku
mengetahui bahwa kau akan menolak gadis yang memintamu berpacaran. Namun, di
hatiku tetap hanya ada kamu. Hari-hariku dipenuhi beban karena selalu
memikirkan mu, meskipun ku anggap waktu ku mengingatmu itu adalah waktu yang
bergharga. Sungguh, aku merasa tersiksa bila seperti ini. Sifatmu yang menjaga
dan kata-katamu yang halus, membuatku merasa nyaman bila di dekat mu. Tolong…
jangan bersikap seperti itu kepadaku…” urai Tifania. Fikri tersenyum.
“Kenapa aku tak boleh bersikap seperti
itu?” Tanyanya sedikit melemas. Tifania menitikan air mata, ia menangis. Air
matanya semakin menderas karena ia bisu, tak bisa berkata apa-apa. Fikri
imajinasi memegang tangan Tifania lembut.
“Katakanlah… mengapa aku tak boleh
bersikap seperti itu?” Tanyanya lagi.
“Karena… karena…” Air mata Tifania
membuat sebuah anak sungai. “Karena aku akan jatuh cinta kepada mu….!” Tifania
benar-benar menangis. Fikri tersenyum.
“Sudahlah, jangan mengangis…” Kata
Fikri perhatian.
“Fik, berilah aku kunci. Kunci untuk
melupakan mu, tolong lah…” Ucap Tifania di sertai isak tangis.
“Baiklah… dengan cara apa kamu ingin
melupakanku?”
“Hal apa yang kamu tidak suka dari
seorang gadis?”
“Aku tidak menyukai gadis yang selalu
bermain malam, hanya sekedar untuk menongkrong dengan teman-temannya, di
manapun tempatnya.”
“Adakah cara lain lagi yang kau tak
sukai?”
“Um… banyak, namun hal yang ku tak
sukai berpusat pada bermain malam”
“Baiklah…”
Paginya. Tifania terbangun karena sinar
mentari yang hangat dari jendela, menimpa wajahnya. Sebuah selimut menutupi
sebagian tubuhnya. Gadis yang masih memakai pakaian tidur sambil memeluk boneka
beruang putih kesukaannya ini, tersadar. Ia langsung mencari Fikri
imajinasinya. Namun, tak tertemukan sama
sekali. Di mana dia? Atau itu semua hanya tipuan imajinasi belaka?
J J
J
Tifania jalan tergesa-gesa, mencari
seorang teman yang bernama Mirna di bel istirahat pertama siang ini. Seperti
dengan niatnya, ia berhenti di depan kelas 9-C, tempat Mirna belajar. Setelah
menemukan orangnya bergegas Tifania meminta bantuan kepadanya.
“Yah… bantuan apa? Belajar? Sorry ya.
Gue gak bisa!” Tolaknya mentah.
“Ye… bukan itu yang gue maksud!” Cegah
Tifania.
“Terus apa? Gue gak bisa nih, pulang
sekolah gue langsung jalan-jalan… biasa with
my gank!” Kata Mirna sambil meneguk es kelapa yang berada di tangannya.
“Kemana? Gue pingin ikut dong…” Tifania
memohon. Uhuukk… Mirna tersedak.
Tifania memukul pundaknya. Mirna batuk-batuk. Ikut? Ingatan masalalunya
membayang-bayang, pernah suatu kali Mirna memaksa Tifania ikut jalan-jalan
dengan teman sebayanya. Faktanya, hanyalah Tifania seorang yang bergaul dengan Agama
Islam, sampai-sampai setiap adzan berkumandang Tifania dengan gesit duduk di
teras Masjid sekolah. Namun, Tifania menolaknya. Tifania ingin mencoba bergaul
bercampur baur dengan siapapun. Entah itu orang kulit putih-hitam, mata
sipit-bulat, hidung mancung-pesek, ataupun yang lainnya lagi. Mirna yang
kelelahan setiap kali mencari-cari Tifania untuk bergaul dengan sesamanya,
akhirnya menyerah. Dan Ia tak akan pernah mengejar Tifania lagi, tapi kali ini
berbeda, Tifania mau mendekatinya? Dengan cekatan, punggung tangan Mirna meraih
keningnya. Memastikan bahwa Tifania sedang sakit.
“Kenapa pegang kening gue segala?”
“Hei, lo sakit ya? Kenapa lo tingkahnya
aneh? Gak kaya biasa!”
Tifania melepaskan tangannya. “Pasti
tangan lo pegel tuh” bibir kecl Tifania tersenyum. Kembali, ia menarik napasnya
dalam-dalam.
“Gue, pingin berubah. Bantuin gue ya.
Emang benar, tingkah gue seiminggu ini aneh total. Tapi, itu lah masa gue yang
ternyata hati melawan dangan pikiran. Hufh… membingunggkan” Keluhnya. Mata
Mirna menyipit sebelah.
“Tif, gue tanya satu kali lagi. Lo
sakit?” Mirna sedari tadi masih keheranan.
“Enggak, Mirna Jessica… gue gak sakit
kok, pokoknya gue pingin ikut bareng lo, pulang sekolah nanti. Oke?” Tawar
Tifania. Mirna mengganguk, setuju. Maafkan
aku Fikri…!
J J
J
Selama mengetahui pergaulan yang di
lakukan Mirna dan kawan-kawan. Tifania sadar, bila ia masuk Agama Islam
pergaulannya ini pasti dinilai sangat-sangat penyimpang! Buktinya, Mirna yang
bila bertemu pacarnya akan berpegangan tangan seperti Dora dan Boest, berpelukan layaknya Teletubies, dan akan memberikan kecupan mesra di masing-masing
pipinya. Hiyy… awalnya Tifania merasa ketakutan setiap berkumpul dengan
orang-orang yang kalau Fikri bilang “orang-orang dzalim”. Mirna pun menyuruh
Tifania mempunyai pacar, perasaan ragu datang begitu saja. Apa dia takut dosa?
Seperti yang di katakan Fikri beberapa waktu lalu. Hufh, akhirnya Tifania
memilih seorang lelaki di antara mereka untuk menjadi pacarnya, Tio nama
laki-laki tersebut. Mual… ingin muntah! Tapi Tifania tak bisa kabur, ia harus
bercampur baur dengan sesamanya. Bagaimana pun, walau hatinya memberontak ingin
pergi, tubuhnya akan menikmati setiap
alunan musik yang di putar dalam disko. Kehidupannya kini berubah menjadi Dugem
“Dunia Gemerlap”, dari namanya saja sudah gelap. Apalagi cahaya yang ada dalam
ruangan disko, benar-benar kekuatannya 5 watt sampai 10 watt.!
Ternyata, kabar berita Tifania yang
beruah sikap dengan pesat. Sudah terdengar sampai telinga Fikri. Ya Allah, apa
yang akan di lakukannya? Mendzalimi tubuh, berbuat kemaksiatan… Astaghfirullah…
Air mata Fikri membasahi sajadah yang dikenakannya, di sepertiga malam ini ia
terus berdo’a. Sedangkan Tifania sendiri baru pulang dari ‘kehidupan barunya’.
Orang tua Tifania tak melarang sama sekali dengan sikapnya yang memang selalu
berubah.
J J
J
“Tifania… aku ingin bertanya sesuatu
kepadamu. Pulang sekolah di bawah pohon beringin, bisa?” Tanya Fikri seminggu
sudah melihat aksi Tifania yang selalu bergandengan tangan dengan pacar
barunya. Tifania tersenyum sinis.
“Mau tanya apa lo? Sekarang juga bisa
kan?” Katanya tak acuh. Fikri kaget, ia istighfar. Bukan maksudnya untuk
membuat sakit hati lelaki tersebut. Hati Tifania sudah menjadi hancur
berkeping-keping saat berkata seperti itu.
“Ini kantin… aku takut suaraku
terdengar tak begitu jelas…” Ucap Fikri khawatir.
“Resiko!” Jawabnya benar-benar seperti
orang tidak peduli. ‘Ya sudah lah, bila
kau ingin seperti ini’ batin Fikri sakit. Lelaki itu duduk di depan
Tifania, saling berhadapan. Hal yang tak pernah dilakukan Fikri selama ia tahu.
Deg! Kenapa hatinya berdetak seperti ini lagi?
“Tifania, maafkan aku bila aku
mempunyai kesalahan. Maafkan aku bila selalu membuat hatimu terluka. Maafkan
aku bila aku berkata yang kau tak sukai. Maafkan aku bila perilaku ku membuatmu
merasa tak nyaman. Karena, aku tak pernah berniat seperti itu…”
Tifania kaku, bagaimana ini?
“Lalu?
Cepat! Aku buru-buru. Sudah ini aku akan menemui pacar ku…”
“Baiklah. Tif, sekali lagi maafkan aku…
apa kesalahanku yang membuatmu menjadi berubah sikap begini?”
“Itu bukan urusan mu. Bukankah kau pernah
mengatakan. Uruslah dirimu sendiri, baru mengurus orang lain!”
“Maaf…”
“Sungguh indah kata maaf itu, sangat
lah mudah… tapi bagiku, sangat menyakitkan!!” Teriak Tifania pergi menjauhi
Fikri, ia tak ingin melihatnya lagi. Tak ingin! Air matanya mengalir deras. Ia
masuk toilet perempuan. Mencuci mukanya berkali-kali, menatap dirinya ke cermin
sesekali.
“Kau jahat Fikri. Kau Jahat!!!”
Teriaknya. Lemas tubuhnya, ia terus menangis. Tubuhnya jatuh. Ia pingsan.
J J
J
Sungguh,
bila aku boleh jujur. Setiap ku melihatmu aku merasakan getaran dada yang
sangat hebat, hatiku merasakan goncangan yang sangat tidak menentu. Itu semua
merupakan permasalahan batin yang ku alami setiap berjumpa denganmu, melihatmu
walau hanya sesekali atau dengan jarak jauh. Tubuhku ini seakan ingin
melindungimu, menjagamu. Tapi, aku tak bisa. Karena… aku tak ingin kau tahu,
bahwa aku menyukaimu…
Tifania menutup buku hariannya yang
selama ini ia pegang di rumah sakit. Ya, sudah seminggu ini ia tak menemui
Fikri lagi, ia harus menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit swasta.
Di sini, di dalam sebuah ruangan yang tak terlalu luas dengan penghuni hanya
Tifania dan seorang pembantu karena orangtuanya sibuk membeli buah-buahan untuk
dirinya, menginggatkan Tifania pada kejadian sebelumnya. Sadar tak sadar yang
membawa ia masuk ke ruangan bau obat-obatan ini adalah emosinya sendiri.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau
kesukaannya. Ia tak peduli segala resiko yang akan ia hadapi akibat perbuataannya
nanti. Namun, tubuhnya melemas lagi. Ia pingsan karena dehidrasi
berkepanjangan.
Tok…tok…tok…
Ketukan pintu membuat Tifania terkejut.
Tak tahu mengapa, hatinya merasakan getaran yang teramat kuat. Tifania
penasaran dengan seseorang yang mengetuk pintu itu. Di bukakannya pintu itu
oleh Bi Minah, sang pembantu yang juga menolong Tifania di larikan ke rumah
sakit.
“Assalamu’alaikum…” Sebuah suara yang
tak asing lagi bagi telinga Tifania terdengar sangat merdu. Siapa lagi kalau
bukan Fikri!
“Wa’alaikumsalam…” Tanpa di sadari
apapun Tifania menjawab salam Fikri.
Fikri masuk kedalam ruangan itu, dengan
pakaian yang amat-sangat sederhana dengan sebuah keranjang yang berisi
buah-buahan yang di pegangnya. Tifania menangkap kedua bola mata Fikri. Rasa rindu
seminggunya yang selama ini di pendam berhamburan semua, ia malu, benar-benar
malu. Bi Minah mengambil keranjang yang di pegang Fikri, dengan senang hati
Fikri melepaskannya. Fikri tersenyum kepada Tifania, sontak gadis itu menjadi
bisu, buru-buru ia memalingkan mukanya.
“Mau apa kau kemari?” Tanya Tifania
sinis. Fikri melebarkan senyumnya.
“Tidak ada apa-apa. Hanya sebentar aku di
sini. Aku hanya ingin menjenguk mu, melihat kondisi mu. Apakah makin sehat?”
“Apa pedulinya kau terhadapku?” Tanya
Tifania makin sinis. Saatnya bagi Fikri untuk jujur.
“Aku hanya ingin menjenguk orang yang
sakit. Tidak peduli ia kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, atau muda. Yang
ku pedulikan adalah kesehatan mereka semua. Tifania, aku mohon, aku meminta
kepadamu biarkan sekarang aku berkata sejujur-jujurnya.” Pinta Fikri.
Deg! Apa yang ingin kau kata kan Fikri?
“Aku pamit. Dua hari lagi aku akan
pergi ke Bandung, aku tak akan berada di kabupaten Cianjur lagi. Di sana aku
akan mengejar cita-cita ku, meraih kesuksesan. Ini adalah akhir pertemuan kita.
Cepat sembuh ya…” Fikri pergi. Tifania merasakan kesepian yang amat mendalam.
End
Thanks for read and don't forget, please leave comment about this short story
Hana.. aku ijin baca yaakk.. =D
ReplyDeletehehe..
-Annisa CERIS
Silahkan Annisa :D
Deletewuissh,panjang nyeuu
ReplyDeletekamu baca pin? =))
Deleteiya :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete